Perempuan di Garis Depan MBG

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu kebijakan sosial pemerintah paling ambisius dalam dua dekade terakhir. Dengan target menjangkau 83 juta anak usia sekolah, santri, balita, dan ibu hamil pada 2025, serta anggaran triliunan rupiah per hari, program ini dimaksudkan memperbaiki gizi anak dan menurunkan prevalensi stunting.

Namun, kegagalan operasional yang memuncak dalam serangkaian kasus keracunan menuntut satu pertanyaan sederhana: siapa yang paling tepat mengawal MBG agar bukan sekadar proyek birokrasi, tetapi benar-benar menjawab kebutuhan gizi anak di akar rumput? Bagaimana memastikan makanan yang dibagikan benar-benar bergizi, aman, relevan dengan selera anak, sekaligus transparan dan akuntabel dalam pelaksanaannya? Jawabannya: perempuan.

Di titik inilah, keterlibatan perempuan menjadi kunci. Ibu rumah tangga, kader posyandu, anggota PKK, hingga pengelola kantin sekolah dan warung komunitas adalah aktor paling dekat dengan anak-anak. Mereka bukan hanya end user, melainkan juga knowledge holder, pemilik pengetahuan praktis tentang gizi, rasa, dan kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian, menempatkan perempuan sebagai garda depan MBG akan jauh lebih strategis ketimbang menyerahkan sepenuhnya kepada birokrasi terpusat.

MODAL SOSIAL PEREMPUAN

Mengapa harus perempuan yang berada di garis depan program MBG? Jawaban ini tidak didasarkan pada sentimentalitas atau stereotipe, melainkan pada pemahaman mendalam yang ditawarkan oleh Teori Etika Kepedulian (Ethics of Care), khususnya dari dua pelopor utamanya: Carol Gilligan dan Joan Tronto.

Dalam teori In a Different Voice (Carol Gilligan, 1982) dijelaskan bahwa perempuan kerap mendasarkan tindakan pada logika kepedulian, bukan sekadar efisiensi birokrasi. Dalam konteks MBG, ini berarti keputusan perempuan lebih sensitif terhadap kebutuhan nyata anak dan keluarga. Posyandu, misalnya, adalah jaringan sosial yang dibangun di atas kerja sukarela perempuan. Selama puluhan tahun, posyandu terbukti efektif menurunkan angka gizi buruk, imunisasi, hingga kesehatan ibu dan anak, semua dengan anggaran minim tapi partisipasi tinggi. PKK pun memiliki birokrasi yang mengakar dari pusat hingga RT/RW. Ia adalah contoh infrastructure of care yang jarang disorot, padahal telah menjadi motor sosial di level desa dan kelurahan selama puluhan tahun.

Jika MBG mengintegrasikan PKK dan posyandu maka pengawasan makanan bisa dilakukan kolektif dan berlapis. Transparansi bukan lagi jargon, melainkan hasil dari mekanisme gotong royong perempuan yang sudah terbukti.

Joan Tronto, seorang ilmuwan politik, mengembangkan teori ini lebih lanjut dalam bukunya Moral Boundaries: A Political Argument for an Ethic of Care (1993). Tronto menegaskan bahwa ‘care’ bukan hanya soal emosional, tetapi juga politik dan institusional. Merawat adalah praktik sosial yang harus diorganisasi secara demokratis.

Dalam konteks pangan sekolah, perempuan khususnya ibu-ibu yang menjadi pemberi makan utama di rumah, membawa pengetahuan praktiknya selama ini tentang kebutuhan gizi, preferensi lokal, dan praktik keamanan pangan. Memasukkan perspektif ini bukan sentimentalitas, melainkan penerapan gender mainstreaming yang meningkatkan efektivitas kebijakan publik.

PEMBELAJARAN DARI NEGARA LAIN

Di Brasil, Program Nasional Pangan Sekolah (PNAE) mewajibkan sebagian dana dibeli dari keluarga petani (kebanyakan skala kecil dan termasuk kelompok perempuan), yang memperkuat hubungan sekolah, petani, komunitas, dan meningkatkan mutu bahan baku lokal. Pendekatan semacam ini menyeimbangkan keamanan pangan dan keberlanjutan ekonomi lokal.

Di India dan Peru, tragedi keracunan makanan sekolah sering kali terjadi ketika rantai pengadaan dan kapasitas lokal diabaikan; setelah kejadian, intervensi melibatkan masyarakat lokal dan inspeksi rutin cenderung mengurangi risiko berulang. Pelajaran: skala besar tak boleh mengabaikan jaringan lokal, yang sebagian besar dikelola perempuan.

Pengalaman India dengan program Mid-Day Meal Scheme memberi pelajaran penting. Ketika program ini dikelola langsung sekolah melibatkan kelompok perempuan desa, distribusi makanan lebih lancar, biaya lebih efisien, dan partisipasi komunitas meningkat. Studi UNICEF (2020) menunjukkan, angka kehadiran anak di SD India meningkat 10%–15% berkat keterlibatan ibu-ibu lokal dalam penyediaan makanan.

Peru juga sukses melalui program Qali Warma. Dapur komunitas yang dikelola perempuan dilibatkan untuk memasak makanan sekolah. Hasilnya, bukan hanya perbaikan gizi anak, tetapi juga tumbuhnya ekonomi lokal.

Indonesia punya modal sosial yang sama, bahkan lebih kaya. Bedanya, hingga kini MBG masih didominasi struktur birokrasi pusat dan aktor politik. Padahal, jika perempuan lokal dibantu birokrasi daerah dikerahkan, program ini bisa menjadi instrumen menghidupkan ekonomi rakyat di akar rumput.

DARI PANGAN KE KEGOTONGROYONGAN

Selain manfaat gizi dan ekonomi, melibatkan perempuan berarti menumbuhkan rasa memiliki bersama. Program yang datang dari atas kerap kehilangan legitimasi jika tidak dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Dengan melibatkan PKK, posyandu, kantin sekolah, dan warung makan perempuan, MBG bukan hanya proyek pemerintah, tetapi menjadi gerakan sosial.

Konsep social capital (Putnam, 1993) menjelaskan bahwa keberhasilan pembangunan bergantung pada jaringan kepercayaan dan norma kolektif. Perempuan adalah simpul penting dari modal sosial ini. Mereka terbiasa membangun solidaritas, baik lewat arisan, kegiatan masak bersama, maupun gotong royong di posyandu. Dengan menempatkan mereka sebagai tulang punggung MBG, pemerintah sebenarnya sedang memperkuat kepercayaan sosial yang krusial bagi keberhasilan jangka panjang.

USULAN STRATEGIS

Ada lima langkah strategis yang bisa segera dilakukan. Pertama, desentralisasi dapur MBG. Alih-alih dapur besar terpusat, pemerintah bisa mendukung dapur komunitas yang dikelola kelompok perempuan di tingkat desa atau kelurahan. Kedua, skema akuntabilitas partisipatif. Libatkan PKK dan posyandu sebagai pengawas mutu makanan, dengan mekanisme laporan terbuka yang dapat diakses publik.

Ketiga, integrasi dengan ekonomi lokal. Pasokan bahan makanan sebaiknya berasal dari petani, nelayan, dan pedagang lokal, sehingga dana MBG berputar di daerah, bukan tersedot ke pemasok besar semata. Selain itu, perlu diberikan insentif ekonomi. Keempat, pelatihan dan monitoring berbasis digital. Manfaatkan sistem e-posyandu untuk memantau mutu, frekuensi distribusi, dan kasus kejadian buruk; data harus transparan dan bisa diakses publik. Kelima, mekanisme pengaduan yang responsif, hotline lokal yang dikelola kader perempuan untuk laporan cepat, sampling makanan, dan tindakan korektif.

Model ini bukan hanya soal mencegah keracunan. Dengan melibatkan perempuan, negara mendapatkan tiga keuntungan sekaligus: peningkatan kontrol mutu, penyesuaian menu dengan selera dan kebutuhan gizi lokal, serta pemberdayaan ekonomi perempuan yang menyentuh basis masyarakat. Dari perspektif feminist political economy, ini juga mengakui kerja reproduktif perempuan sebagai kontribusi publik yang harus dihargai dan diprofesionalkan.

MBG bertujuan mulia: memberi gizi kepada anak bangsa. Namun, tanpa desain pelaksanaan yang menghormati pengetahuan lokal dan menempatkan perempuan sebagai aktor utama, program pemerintah ini berisiko menjadi mahal tapi rapuh. Pemerintah perlu mengubah paradigma: dari proyek teknokratis yang kaku ke gerakan sosial berbasis perempuan.

Ibu-ibu PKK, kader posyandu, pengelola kantin, dan warung komunitas adalah penjaga gizi sejati. Dengan cinta, pengalaman, dan pengetahuan mereka, MBG bukan hanya soal memberi makan, tetapi juga tentang membangun masa depan bangsa dari meja makan yang penuh kasih dan gotong royong. Ketika diberi peran dan dukungan yang tepat, ibu-ibu dan perempuan akan memastikan anak-anak menerima bukan sekadar porsi, melainkan gizi yang aman dan bermutu.

sumber : https://mediaindonesia.com/opini/816648/perempuan-di-garis-depan-mbg#goog_rewarded

Pos terkait