Persoalan yang paling mendasar, seriuskah pemerintah menyelenggarakan pendidikan di Indonesia?
Runtuhnya sebagian bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, bukan satu-satunya kabar terkait roboh atau rusaknya fasilitas pendidikan.
Bupati Aceh Barat Tarmizi menepis berita bohong tentang penutupan sekolah dasar di Paya Baro, Aceh, Sabtu (27/9/2025). Pernyataan itu merespons isu penutupan SD setempat karena dianggap tidak layak pakai. Gedung SDN Paya Baro memiliki tiga ruang kelas untuk enam rombongan belajar, dari total 25 siswa dan sembilan guru.
Hanya saja, pemerintah daerah mengakui kecilnya angka partisipasi siswa di daerah, yakni sekitar 1.000 anak tidak sekolah.
Pada September ini pula terjadi atap bangunan runtuh pada saat jam belajar di SMKN 1 Cileungsi, Kabupaten Bogor, Selasa (10/9/2025). Atap itu menimpa siswa sehingga 26 siswa mengalami luka-luka. Sebanyak 17 sudah pulang dan 9 masih dievaluasi dalam kategori luka berat.
Dua kasus tersebut merupakan contoh tentang kondisi yang memprihatinkan dalam hal penyediaan fasilitas dan peserta didik. Persoalan yang paling mendasar,seriuskah pemerintah menyelenggarakan pendidikan di Indonesia?
Sebuah bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk pada Senin (29/9/2025) sore. Akibat insiden tersebut, sekitar 80 korban luka dan satu orang meninggal.
Sebuah bangunan di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ambruk pada Senin (29/9/2025) sore. Akibat insiden tersebut, sekitar 80 korban luka dan 1 orang meninggal.
Tiap bulan ambruk
Pemerintah pusat hingga daerah memanggul tugas berat untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Setelah hampir satu abad pendiri bangsa mencantumkan cita-cita itu dalam pembukaan UUD 1945, kenyataan di lapangan tampak jauh panggang dari api.
Fakta, hampir setiap bulan terjadi kasus gedung sekolah ambruk. Sebagai contoh, pada 2025, Pemerintah Kabupaten Brebes Jateng mendata sekitar 50 bangunan ambruk karena berbagai hal dan lain sebab.
Pada September, gedung SDN 19 Tanjung Periuk, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat rusak parah, yakni plafon jebol dan atap ambruk. Seorang anggota DPRD meminta agar segera ada perbaikan (26/09/2025).
Di bulan yang sama tercatat tuntutan Aliansi Masyarakat Kalimantan Timur menggugat di depan Gedung DPRD Kaltim, Senin (1/9/2025). Mereka mendesak agar pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru serta meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar di Kalimatan Timur.
Pada Agustus, atap bangunan roboh terjadi di SDN Kedung Dalam II Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, Rabu (13/8/2025). Rinciannya, dua ruang kelas roboh karena angin kencang.
Pada bulan Juni, gedung sekolah SD di Desa Cigugur, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang, telah ambruk, Senin (30/06/2025). Diduga insiden itu terjadi karena tiang penyangga lapuk.
Pada bulan Mei, bencana alam juga mengkibatkan gedung SDN Mekarjaya 4, Desa Mekarjaya, Kecamatan Kertajati, Jawa Barat, ambruk. Bulan sebelumnya gedung rusak parah juga terjadi di SD Bongas Kulon, SD Teja, SD Lingung, dan SMP Sindangwangi.
Gedung ambruk juga terjadi di SD Kutorenon 3, Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur saat jam pelajaran, Jumat (16/5/2025). Saat itu proses belajar-mengajar sedang berlangsung.
Kelalaian pemerintah
Fakta tersebut memperlihatkan kegagalan pemerintah memahami dasar-dasar penyelenggaraan pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang standar pendidikan sekurang-kurangnya bisa dijadikan sebagai pedoman untuk mewujudkan penyelengaraan pendidikan yang baik dan bermutu.
Terdapat tiga penyebab utama mengapa pemerintah melakukan hal ini. Pertama, terjadi kelalaian pemerintah. Sebagai bukti pada bulan Mei, diketahui SDN 01 Kepulauan Seribu Utara, Jakarta, hampir tidak bisa ditempati karena asbesnya hampir jatuh. Padahal, mengacu pada keterangan anggota Komisi E DPRD Jakarta, SDN Pulau Harapan Pagi 01 Pagi Kecamatan Kepulauan Seribu Utara itu tidak dimasukkan ke dalam data sekolah yang akan direnovasi pada 2025-2026. Hal itu berarti, pemerintah daerah tidak cermat dalam melakukan pendataan kebutuhan, khususnya dalam penyediaan fasilitas pendidikan.
Kedua, ketidakpekaan pemimpin daerah dalam memajukan pendidikan. Buktinya, seorang guru bernama Julia R S Banurea di SDN 06 Ransi Dakan, Sintang, Kalimantan Barat, memenangi gugatan melawan Bupati. Gugatan itu terjadi karena bupati menghapus dan memindahkan anggaran untuk guru untuk menaikkan tambahan penghasilan pegawai (TPP) aparatur sipil negara (ASN) di luar guru.
Langkah Bupati itu tertuang dalam Keputusan Bupati Sintang No 800.1.6.4/1389/KEP-BKPSDM-D/2024. Kemenangan penggugat terjadi di tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Banjarmasin dan tingkat banding, 23 Desember 2024. Hal itu berdasarkan pada putusan Majelis Hakim PTUN Pontianak dengan nomor perkara 26/G/2024/PTUN. PTK.
Hakim menilai, langkah bupati dinilai tidak hati-hati dan mengada-ada. Penggugat merupakan guru yang mengabdi di wilayah terpencil. Dia mengikuti program pemerataan pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Penyebaran guru itu dilakukan berdasarkan Perpres 63 tahun 2020 tentang daerah tertinggal. Ironisnya, pemerintah daerah tidak memiliki kemauan politik yang cukup untuk mendukung program tersebut.
Ketiga, ketidakmampuan pemerintah mengidentifikasi persoalan penyelenggaraan pendidikan. Secara umum, manajemen pendidikan dapat disederhanakan dalam terminologi standar pendidikan. Standar tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 dan perubahannya dalam PP Nomor 4 Tahun 2022.
Peraturan itu mengatur delapan standar, yakni standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.
Secara umum, delapan aspek tersebut bisa dijadikan panduan dalam mengembangkan pendidikan di daerah. Faktanya, kasus-kasus yang mengemuka semakin menunjukkan nihilnya kebijakan yang berpihak pada penyelenggaraan pendidikan.
Beranjak dari uraian di atas, nyatalah bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kemauan dan kemampuan yang cukup menyelenggarakan pendidikan yang bermutu. Mestinya, pemimpin menyadari bahwa mengesampingkan perbaikan penyelenggaraan pendidikan di tiap jengkal tanah republik ini adalah pengkhianatan untuk cita-cita ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Saifur Rohman, Pengajar Filsafat di Program Doktor Universitas Negeri Jakarta.
sumber : https://www.kompas.id/artikel/saat-tiap-bulan-ada-sekolah-ambruk?open_from=Opini_Page